anggap saja ini anekdot lah.
bagaimana bila saat-saat terbaik Tuhan adalah ketika Ia tersenyum menunggu manusia menyesali perbuatannya, lalu Tuhan tertawa hebat ketika manusia bertaubat. bagaimana jika Tuhan tidak terlalu mencintai umatnya yang sufi dan suci karena tidak ingin kuasa ampunanNya menjadi tak berguna. "karena tak ada manusia yang berbuat dosa, apalah lagi arti sebuah pengampunan." bagaimana bila Tuhan ternyata senang menunggu. kau boleh tertawa, atau mengerenyitkan dahi, tapi anekdot ini dikutip dari sebuah hadis Qudsi, Tuhan lebih senang menyaksikan manusia yang sedang menyucikan diri daripada manusia yang selalu merasa sudah suci.
saya belum terpikir untuk melakukan proses menyucikan diri, apalagi merasa sudah suci. entah Tuhan senang pada saya atau tidak. yang jelas kini saya terombang-ambing di apa yang saya namakan: ruang abu-abu duniawi, di mana saya menikmati ombang-ambingnya seperti peselancar yang hendak menunggangi ombak. saya punya rumah di raung abu-abu yang nyaman, tenteram, tak hiruk, tak pikuk, tak jua sunyi, namun sejuk. umur segini, jelas saya memilih untuk berdomisili di ruang abu-abu ketimbang di ruang putih, tapi juga tak ingin tenggelam di ruang hitam. ruang putih hanya akan membuat saya takut salah melangkah, dan meninggalkan jejak kotor yang basah bermasalah. jika tenggelam di ruang hitam, saya merasa apa yang saya lakukan benar, saya menikmati apa yang saya perbuat meski itu salah. tapi saya tak tahu saya sedang melangkah kemana, karena di ruang hitam yang gelap dan pekat ini bahkan saya pun tak tahu sedang berada di mana, sehingga ketika saya melakukan hal yang benar pun saya tak pernah merasa jadi pahlawan, minimal bagi diri sendiri. saya betah punya rumah di ruang abu-abu, karena saya tahu, berani, dan perlu melakukan hal yang benar dan salah.
namun tak bisa dipungkiri, ternyata masih beberapa dari jiwa saya tertinggal di ruang hitam, tak banyak memang, tapi sulit untuk mengingatnya satu-satu. salah satu yang berhasil saya ingat dengan susah payah adalah determinasi. ya, determinasi saya tertinggal di ruang hitam dan tak tahu harus mencarinya di sebelah mana dan harus mulai dari mana.
dalam perjalanan mencari determinasi tersebut, ternyata saya menemukan banyak jiwa yang tertinggal di ruang hitam yang ditemukan secara tak sengaja. tak perlulah kiranya saya sebutkan satu-satu, karena saya tidak ingin menelanjangi diri di catatan ini, :p. ternyata banyak juga, seperti orang yang pindahan saya menyewa kijang bak terbuka, cukup besar, muatlah untuk mengangkut si determinasi dkk yang hendak saya bawa pindahan ke rumah saya di ruang abu-abu.
di rumah di ruang abu-abu ada kau yang bertanya, "ada apa? kenapa dengan 'barang-barang' usang ini?" untung kau cukup mengerti bahwa 'dinamo yang berkarat' itu adalah determinasi yang butuh aki untuk berrotasi, sehingga saya tak perlu menjelaskan bahwa 'barang-barang' usang lainnya--ada yang lembap, berkarat, dan terburai--masih bisa dipakai jika segera diperbaiki.
no change no future, saya semakin menyadari itu akhir-akhir ini, semakin menyadari setelah saya teronggok tak berguna dan menganggur tak jelas beberapa lama. barang-barang unidentified itu kini sedang saya inventarisasi dulu karena bentuknya sudah tak karuan, ...tapi saya yakin masih jalan. saya yakin, setiap orang pasti menginginkan perubahan terjadi pada dirinya dan orang-orang di sekitarnya. saya yakin kau pun menginginkan saya selalu lebih baik setiap harinya, seperti saya percaya kamu bisa lebih baik setiap saatnya, minimal di mata saya. tapi meskipun setiap orang pasti menginginkan perubahan, kesabaran seseorang untuk menikmati melihat perubahan itu relatif. kau bersabarlah, karena berubah itu tidak semudah Kotaro Minami membalikan telapak tangan. berubah itu sulit, karena seperti yang sering saya katakan padamu, "berubahlah ketika hati, tubuh, dan pikiranmu sudah sepakat dan mufakat." saya berubah bukan karena kehendak orang lain, bukan kehendak orang tua saya, bukan kehendak dosen wali saya, dan bukan kehendakmu juga, saya berubah karena saya ingin berubah. tapi, jika saya ingin kamu menjadi bagian dari proses pembentukan diri saya, berkenankah?
Tuhan, jangan dulu tersenyum pada saya sekarang, saya belum mau menyesali apa yang telah saya perbuat, apalagi bertaubat, atau berevolusi hebat. saya hanya sedang pindahan, mendaur ulang jiwa yang tertinggal di ruang hitam agar bisa beradaptasi di ruang abu-abu. tersenyumlah saat saya nanti sudah tak takut salah melangkah dan siap membangun istana di ruang putih yang sunyi dan sufi itu. Tuhan, berjanjilah memberi saya waktu dan kesempatan untuk membuktikannya kelak, di suatu saat yang mungkin masih akan sangat lama. saat ini, saya ingin hanya ada saya, dia, dan ruang abu-abu kami yang dinamis, fluktuatif, dan penuh gejolak. Kau, tersenyum dan restuilah. karena saya tahu Kau senantiasa menunggu seperti dia yang selalu tersenyum di ujung pintu. :)
kau, gadis kecil berbibir tipis itu, bergegas dari ujung pintu. saya bertanya, "mau ke mana?"
"aku tak mengharapkan kau menjadi Tuhan, atau aku yang senantiasa menunggumu. tapi jika kau berkenan menunggu, tunggu aku di rumah di ruang abu-abumu. dan tetap jadilah cahaya."
"akan banyak barang yang harus kita bersihkan dari ruang hitamku, :p"
3006.0344, ditulis si btok setelah berdiskusi dengan annelis lewat daily late-night conversation mereka yang difasilitasi SIMPati 0,5 rupiah per/detik.
(margahayu)